Aku harap bisa kembali ke tempat itu.
karena sejujurnya, tak banyak kebahagiaan yang kutemukan di sana.
Lebih banyak hari-hari di mana suaraku tenggelam dalam teriakan,
lebih banyak air mata yang jatuh diam-diam di sudut ruangan,
lebih banyak ketakutan yang kusimpan sendiri,
bersembunyi di bawah meja, berharap dunia berhenti berputar.
Tapi tetap saja, ada sesuatu yang membuatku ingin kembali.
Mungkin bukan rumahnya yang kupanggil,
tapi bagian dari diriku yang tertinggal di sana.
Potongan kecil yang masih bersembunyi di balik pintu,
menunggu untuk ditemukan, untuk dipeluk,
untuk diyakinkan bahwa semuanya sudah berlalu.
Aku bisa mengingat meja makan tempat kita duduk bersama,
bukan selalu dalam tawa, seringnya dalam diam,
atau dalam kata-kata yang saling menusuk.
Aku ingat hujan yang mengetuk jendela,
menemani tangis yang kutahan dalam gelap,
menyelimuti malam-malam panjang yang terasa dingin,
bahkan saat tubuhku bersembunyi di bawah selimut.
Bukan, aku tak ingin kembali untuk mengulang semuanya.
Aku hanya ingin berdiri di sana sekali lagi,
melihat semuanya dari mata yang berbeda,
menyentuh tembok yang dulu menyerap suara tangisku,
dan berkata pada diriku sendiri—
“Kamu sudah melewati ini. Kamu masih di sini. Kamu baik-baik saja.”
Mungkin setelah itu, aku bisa benar-benar pergi.
Bukan untuk lari, bukan untuk melupakan,
tapi untuk benar-benar melepaskan.